Januari 2nd, 2008 in Medan
Medan ( Berita ) : Tokoh masyarakat Sumatera Utara Yasonna H. Laoly menilai Indonesia saat ini belum siap untuk melaksanakan pemilu legislatif dengan menggunakan sistem distrik.
“Kita belum siap. Paling tidak dibutuhkan dua pemilu lagi jika kita memang ingin melaksanakan pemilu dengan menggunakan sistem distrik,” katanya kepada wartawan di Medan, Selasa [01/01] .
Menurut anggota DPR-RI dari daerah pemilihan (dapil) Sumut itu, pemilu dengan menggunakan sistem distrik bukan perkara gampang karena terlalu banyak yang harus dipersiapkan dengan sangat-sangat matang.
Ia menyebut contoh dalam penyusunan peta distrik yang dipastikan bakal sangat sarat dengan pertarungan politik yang sangat tinggi. “Penyusunan peta sosiopolitik saja bukan pekerjaan mudah dan rasanya kita belum lagi untuk melakukannya,” ujarnya menambahkan.
Lebih jauh anggota DPR-RI dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) itu mengatakan, menyusun peta dapil untuk tujuh kursi saja sudah akan sangat kuat tarik-menariknya, belum lagi jika jumlah kursi yang diperebut jauh lebih besar.
Yasonna H. Laoly mengakui bahwa semakin kecil jumlah kursi per-dapil maka derajat keterwakilan akan lebih baik, dimana konstituen akan lebih mudah terjangkau dan ongkos poitiknya pun jauh lebih murah.
Hanya saja, hasil penelitian pada 44 negara selama tahun 2006 yang dimuat salah satu jurnal ilmu politik bergengsi menunjukkan bahwa dalam sistem pemilu yang menggunakan “open list” dengan “magnitude” dapil yang besar berkorelasi kuat dengan “political corruption”.
Hal itu dikarenakan sistem “open list” akan membuat pertarungan merebut kursi antara para calon anggota legislatif (caleg) antar partai dan antar caleg internal partai akan sangat-sangat keras.
“Pertarungan antar para caleg bisa memunculkan kanibalisasi di internal partai. Tentu pertarungan caleg antar dan inter partai akan memakan ongkos yang sangat besar bagi setiap caleg. Semakin besar dapil semakin besar pula ongkos pengamanan politiknya,” kata bakal calon Wakil Gubernur Sumut itu.
Semua itu, menurut dia, akan membawa dampak lebih jauh ketika seorang caleg sudah duduk di lembaga legislatif. Mereka bisa saja hanya bakal memikirkan biaya yang sudah mereka keluarkan ketika berjuang meraih kursi legislatif.
“Biaya-biaya yang telah mereka keluarkan dipastikan akan menjadi variabel yang akan mempengaruhi setiap negosiasi politik yang mereka lakukan. Itu jelas sangat-sangat tidak sehat dan hanya akan semakin menumbuh-suburkan budaya korupsi di lembaga legislatif,” ujarnya.
Yasonna Laoly menyebutkan bahwa kultur pemilih di Indonesia dalam pelaksaan pemilu belum seperti di Amerika atau Eropa, dimana rakyatnya justru menyumbang untuk para caleg. Di Indonesia yang terjadi justru sebaliknya, dimana caleg justru harus menyiapkan anggaran dengan jumlah tertentu untuk para konstituennya. “Saya kira kita harus membangun sistem pemilu yang mampu mengurangi ‘political corruption’ sekaligus mampu menyederhanakan parpol kita untuk menciptakan sistem pemerintahan presidensil yang lebih kokoh. Rasanya itu yang perlu kita pikirkan untuk saat ini,” demikian Yasonna H. Laoly. ( ant )
[get this widget]
indonesia belum siap terapkan pemilu sistym distrik
Thursday, January 3, 2008
Posted by Andhika Prasetya at 12:06 AM
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment